Monday, August 9, 2010

lagi lagi realita

Hari ini, saya sedang melakukan percakapan santai sama ibu di depan tv sambil kelosotan di lantai dan makan oreo *kebayang kan santainya :D*



Ibu : mbak, katanya si ani (nama disamarkan), pembantu kita yang dulu itu katanya mau nikah

Saya : nikah? Orang anak masih kecil gitu. Nikah sama kambing kali

Ibu : yeh kamu kan kalo diajak ngobrol bercanda melulu. Beneran katanya mau nikah nanti abis lebaran.

Saya : *balik badan dan mulai serius*

Ibu : beneran. Nanti abis lebaran katanya.

Saya : maaaaaak! Orang dia aja dua tahun dibawah aku kok -___-



Dari percakapan singkat itu, saya tiba-tiba ngerasa takut karena udah lebih tua dari dia tapi ga laku-laku. Loh? Haha kembali serius.

Ya, dari percakapan singkat itu saya jadi takut dengan budaya, tradisi, atau apapun kita menyebut itu yang terus-terusan melestarikan budaya menikah muda. Mudanya dalam artian masih di bawah 20 tahun, buat saya ini batasnya. Sebenernya kenapa si budaya itu masih terus dijaga? Apa sih manfaatnya kalau mereka melakukan hal itu? Kenapa sih tidak ada yang berusaha untuk berpikir jauh dan meninggalkan budaya itu? Apa sih dampak yang akan ditimbulkan kalau tradisi itu ditinggalkan? Masih banyak kenapa yang tidak bisa dituliskan semuanya tentang hal ini berkecamuk di otak saya.

Budaya menikah di usia yang sangat belia ini masih sering sekali kita temui di Indonesia. hal ini akan banyak kita temukan di daerah-daerah pinggiran kota besar, apalagi kalau kita melihatnya lebih jauh lagi ke pelosok disana akan lebih banyak lagi ^^ saya pernah dengar cerita ibu, setelah beliau melakukan sebuah perjalanan ke sebuah pelosok daerah Jawa Barat. Beliau cerita bahwa beliau bertemu dengan seorang gadis berusia 15 tahun yang ternyata sudah Janda. Janda? Bayangkan dengan usia yang masih usia sekolah, dia sudah pernah mencicipi sebuah kehidupan berumah tangga, bahkan sudah juga mencicipi bagaimana mengakhirinya.

Pernah juga suatu ketika saya membaca sebbuah cerita di majalah yang menceritakan seorang wanita berusia 17 tahun yang sudah memiliki dua anak. Disaat saya yang juga berumur sama masih sangat senang beermain dan mengembangkan diri, dia sudah harus memikul beban sebagai seorang istri dan ibu. Di saat saya masih seneng jalan dan main sama ibu ayah, dia sudah harus senang bermain sama suami dan anak-anaknya. Disaat saya masih sering berkumpul dengan teman-teman untuk rapat atau hanya sekedar mengobrol, dia sudah harus diam di rumah dan mengerjakan segala macam tugas seorang ibu rumah tangga.

Sungguh, tidak pernah terbayang dalam benak saya akan terjadinya hal seperti itu dalam hidup saya. Hidup itu pilihan dan saya sudah memilih untuk menunda hal seperti itu sampai saya benar-benar siap.

Sekali waktu saya berpikir, mungkin lingkungan juga yang memaksa mereka untuk menikah di usia yang sangat belia. Beberapa kelompok masyarakat masih beranggapan bahwa ketika seorang gadis belum menikah sementara teman sebayanya sudah mayoritas menikah, maka gadis itu dianggap tidak laku. Bahkan beberapa orang tua mengaku malu ketika anaknya belum menikah, sementara teman-teman sebayanya sudah. Apakah menikahkan anaknya yang masih belia itu dianggap sebagai sebuah kebanggaan?

Sebenarnya saya tidak akan berbicara banyak tentang hal ini, kalau saya juga bukan seorang wanita. Entah bagaimana pandangan kaum lelaki tentang hal ini, tetapi bagi saya ini adalah sebuah lampu merah untuk perkembangan diri seorang wanita. Mayoritas dari mereka yang menikah belia, lahir dari orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah dan yang menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal yang utama. Mungkin juga mereka lahir dari orang tua yang belum menghargai dan memandang wanita itu setara dengan laki-laki dalam beberapa hal, terutama pendidikan. Mereka menikahkan anaknya agar anaknya dapat segera memiliki pasangan yang mungkin dapat menunjang hidup anaknya lebih baik dari mereka. Miris sebenarnya ketika saya tau bahwa mayoritas itu adalah alasan utama mengapa banyak terjadi pernikahan di usia belia.

Kalau saja mereka berpikir untuk menunda hal tersebut sedikit lebih lama, setidaknya sampai anaknya benar-benar menyelesaikan pendidikannya 12 tahun. Mungkin anak mereka akan mendapatkan nasib yang lebih baik. Jadi ingat perkataan seseorang, jika ingin mendapatkan yang baik, maka jadilah baik juga. Intinya dalam hal ini, jika para gadis itu sedikit berpendidikan, mungkin dia bisa mendapatkan suami yang jauh lebi berkualitas dari mereka yang menikah saat lulus SD atau SMP. Bukan berarti saya berani mengatakan bahwa hal itu mutlak, sekali lagi ada Allah yang menentukan. Atau ketika tujuan mereka memang hanya untuk lebih meningkatkan taraf hidup anak-anaknya, dengan membiarkan mereka mengenyam pendidikan sedikit lebih lama lagi juga dapat sedikit meningkatkan taraf hidup anaknya. Sekali lagi, ini bukan hal mutlak.

Menyangkut ke masalah kesehatan. Banyak penyakit yang akan diderita oleh wanita dengan risk factor berupa hubungan sexual dini. Dimana hal ini bukan tidak munkin akan terjadi, ketika seorang gadis menikah dalam usia yang belia. Kalau bisa dicegah, kenapa harus dilakukan? Tunggu, sekarang pertanyaannya adalah apakah mereka tau tentang hal ini? Apakah mereka tau akan banyak penyakit yang mengancam nyawa seorang gadis ketika dia dibiarkan menikah dan berhubungan sexual pada usia yang masih sangat belia? Ya, belum tentu semua orang tahu. Atau mungkin bahkan mayoritas mereka tidak tahu. Solusinya? Ya beri tahu. Berikan mereka pendidikan dalam hal ini. Ada celah ni buat kita memperbaiki nasib wanita bangsa dalam hal ini. Tergerakkah?

Yaaaah, sudahlah. Saya ga tau lagi harus ngomong apa. Haha ini hanya pikiran sok tau yang tiba-tiba melintas

Sekali lagi, hidup ini pilihan. Dan untuk mereka yang sudah memilih untuk melakukan pernikahan di usia yang masih kecil, semoga kalian akan terus mempertahakannya.

Teman-teman mahasiswa, agent of change, adakah hati yang tersisa untuk sedikit bergerak untuk ini?

1 comment:

Post a Comment